Thursday, April 27, 2017

Ilmu kepelatihan Dasar


A.    PENGANTAR ILMU KEPELATIHAN

1.   Hakikat Ilmu Keolahragaan
Sebelum membahas mengenai hakikat ilmu keolahragaan, terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai pengetahuan ilmu. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan sesuatu yang diketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia. Ilmu dapat dikatakan sebagai kumpulan pengetahuan yang disusun secara logis, sistematis, dan konsisten, serta kebenarannya teruji secara empiris. Sifat ilmu adalah spekulatif, artinya kebenaran ilmu terikat oleh lingkup ruang dan waktu, apabila dikemudian hari ditemukan ilmu lain yang lebih fungsional, maka ilmu terdahulu akan terkalahkan dan dianggap kurang / tidak valid lagi. Ilmu dapat diubah, disaring, dan diuji melalui penelitian eksperimen yang terkontrol.
Jadi, setiap jenis pengetahuan atau ilmu mempunyai ciri – ciri yang spesifik mengenai : (1) apa / ontologi, (2) bagaimana / epistemologi, (3) untuk apa / aksiologi pengetahuan tersebut disusun (Harsuki, 1988 : 12; Yusuf Hadisasmita & Aip Syarifuddin, 1996 : 13).
Di segala bidang ilmu pengetahuan di zaman yang modern ini, telah berkembang dengan pesat, terutama ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan teknologi dan industri. Hal ini ditunjang dengan ditemukannya komputer sebagai sarana memecahkan masalah – masalah yang cukup rumit.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) memainkan peranan yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan manusia, tanpa pendekatan – pendekatan iptek suatu bangsa akan sulit mengembangkan potensi internal yang dimiliki. Ekspansi iptek kedalam dunia olahraga, memungkinkan olahraga menjadi suatu produk menarik, yang pada penahapan lebih lanjut akan menempatkan olahraga sebagai tontonan, seni, dan sekaligus obsesi manusia. Namun, kepesatan perkembangan prestasi olahraga dewasa ini bukan semata – mata karena diterapkannya iptek. Tetapi, pemecahan prestasi olahraga dewasa ini ditangani bersama oleh para ahli yang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan manusia yang serba unik.
Kelompok ilmuwan yang menamakan ilmu keolahragaan sebagai disiplin ilmu (sport science) telah diperkenalkan di Jerman Barat pada tahun 70-an yang dipelopori oleh Prof. Dr. Herbert Haag (Sport Science, 1975: 17; Yusuf Hadisasmita & Aip Syarifuddin, 1996: 16). Menurut Haag,: ilmu keolahragaan mempunyai batang tubuh keilmuan yang terdiri dari 3 dimensi yakni
1.   Dimensi theory fields, yaitu ilmu yang menunjang ilmu keolahragaan berdasarkan pendekatan teori yang relevan kemudian menjadi sebuah rumpun atau bidang seperti sport medicine, sport biomechanics, sport psychology, sport pedagogy, sport history, sport sociology, dan sport philosophy.
2.   Dimensi research, maksudnya tanpa penelitian ilmu tidak akan berkembang.
3.   Dimensi sport discipline, merupakan cabang – cabang olahraga seperti atletik, senam, renang, bola basket, sepakbola, bola voli, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, objek kajian ilmu keolahragaan ialah gerak manusia, yakni manusia yang menggerakkan dirinya dengan sadar dan sengaja. Berkaitan dengan hal ini, maka jika dihubungkan dengan medan kajian di bidang pedagogi, objek kajiannya yang utama ialah gerak manusia dalam rangka pendidikan dan pembentukan.
Indonesia menganut pandangan bahwa ilmu keolahragaan tidaklah berdiri sendiri, melainkan  bersifat integratif. Karakteristik utamanya yaitu terjadi lintas disiplin antar disiplin yang terkait dan relevan. Meskipun ada gejala bahwa sejumlah sub – disiplin itu saling terkait dan terpadu, juga kuat kecenderungan berupa diversifikasi dan spesifikasi sampai akhirnya sub – disiplin ilmu itu yang semula hanya mencapai taraf teori kian lama berkembang secara mandiri dan diakui. 
Berikut ini taksonomi ilmu keolahragaan :
(Scan 1)

Selanjutnya, dijabarkan menjadi batang tubuh pohon ilmu keolahragaan seperti berikut :

(Scan 2)
Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa ilmu kepelatihan merupakan salah satu bagian dari batang tubuh pohon ilmu keolahragaan.
Selanjutnya, ada 4 dasar yang menjadi tujuan manusia melakukan kegiatan olahraga, antara lain sebagai berikut :
1.   Kegiatan olahraga yang bertujuan untuk rekreasi, yaitu seseorang yang melakukan kegiatan olahraga hanya untuk mengisi waktu senggang, dimana kegiatan dilakukan dengan penuh gembira, santai, dan semuanya berjalan tidak formal baik dari segi tempat, sarana, maupun peraturannya.
2.   Kegiatan olahraga yang bertujuan untuk pendidikan, yaitu mencapai sasaran pendidikan nasional yang tertuang pada mata pelajaran penjasorkes di sekolah dimana kegiatan olahraga telah disusun sesuai dengan kurikulum, dan dilakukan secara formal.
3.   Kegiatan olahraga yang bertujuan untuk mencapai tingkat kesegaran jasmani, yaitu dilakukan dengan formal baik program, sarana dan prasarananya dibawah asuhan tenaga ahli profesional.
4.   Kegiatan olahraga yang bertujuan untuk mencapai prestasi, yaitu membentuk manusia sebagai objek yang akan diolah prestasinya agar mencapai maksimal melalui program terpadu.

1.   Metodologi Pelatihan
Melatih seringkali dianggap sebagai salah satu profesi yang paling menarik dan memuaskan dari semua profesi. Tetapi, hal yang sangat perlu diketahui bagi calon pelatih adalah keberhasilan tidak selalu menanti semua orang yang terjun ke dunia kepelatihan.
Pelatihan merupakan salah satu kunci tercapainya individu, oleh karena itu sudah seharusnya pelatihan dilaksanakan dengan sebaik – baiknya. Artinya, pelatih diharapkan dapat memberikan pelayanan sesuai dengan standar / ukuran profesional yang ada. Pelatihan menuntut kreatifitas dan interpretasi mengenai orang per orang atau situasinya. Pelatih yang berhasil harus bisa mengembangkan pendekatan kepelatihan dengan ciri tersendiri dan lewat pengalamannya harus bisa mengembangkan indra keenam yang menuntun pelatih tersebut dalam mengambil keputusan. Namun, aspek kepelatihan yang artistik dan kreatif harus berlandaskan pada dasar ilmu yang tangguh. Tidak ada tingkat kreativitas yang akan menghasilkan keberhasilan / kesuksesan apabila landasan ilmiah praktik pelatihannya kurang sempurna (Pate, McClenaghan, & Rotella, 1993 : 3).
Untuk mencapai prestasi dalam dunia olahraga dibutuhkan latihan. Latihan merupakan proses yang berulang dan progresif guna meningkatkan potensi dalam rangka mencapai prestasi yang maksimal (James Tangkudung & Wahyuningtyas Puspitorini, 2012 : 7). Proses latihan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang sangat unik dan penuh dengan resiko. Dikatakan unik karena objek latihannya adalah manusia, dimana manusia merupakan suatu totalitas sistem psiko-fisik yang komplek. Artinya, manusia sebagai objek tidak dapat diperlakukan seperti robot yang harus menuruti setiap perintah dari pusat tombolnya sebab sangat dipengaruhi oleh faktor – faktor perasaan, pikiran, emosi, dan kondisi fisiknya. Sedangkan dikatakan penuh resiko karena dalam proses latihannya akan terjadi perubahan atau kerusakan fisik atau psikis. Artinya, akan ada perubahan kondisi fisik dan psikis dari kondisi sebelumnya. Namun, sifat perubahan dan kerusakan tersebut adalah untuk memperbaiki.
Sebelum membahas mengenai metodologi pelatihan, ada baiknya diketahui terlebih dahulu ciri – ciri ilmu kepelatihan, yakni antara lain sebagai berikut : (1) merupakan proses pendidikan, (2) berlatih terus menerus, (3) ada kekhususan cabang olahraganya, (4) ada kompetisi dan sportivitas, (5) ada kesadaran dan kesukarelaan, dan (6) prestasi prima.
Menurut Yusuf Hadisasmita & Aip Syarifuddin (1996:23) agar pelatihan dapat dilaksanakan dengan baik, maka pelatih harus mengetahui cara-cara tentang melatih yang disebut metodologi pelatihan. Metodologi pelatihan adalah ilmu pengetahuan tentang metode-metode yang digunakan dalam proses pelatihan dan harus dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan ilmiah (scientific approach). Berbagai penelitian dalam disiplin ilmu yang terkait telah banyak menunjang peningkatan sistem latihan. Demikian pula perkembangan teknologi yang sangat pesat melalui pengadaan sarana yang canggih dapat menciptakan suatu metode latihan yang mutakhir.
Selanjutnya, teori dan metodologi latihan harus berisikan materi tentang teori dan praktik (Sukadiyanto, 2005:3). Materi secara teoritik mencangkup ilmu-ilmu pendukung yang mendasari dan menunjang dalam proses berlatih melatih. Fungsi teori pendukung adalah menyajikan berbagai pengetahuan tentang metode dan pengaruh proses latihan secara ilmiah, tercatat, terukur, terencana, dan sistematik. Ilmiah artinya pada saat melatih bukan berdasarkan anggapan atau pemikiran pelatih saja tetapi disesuaikan dan dikembangkan dengan teori dan ilmu pendukung. Tercatat artinya setiap kegiatan berlatih dan melatih, dibutuhkan catatan – catatan untuk evaluasi. Terukur artinya agar dapat mengukur potensi atlet berdasarkan ilmu pasti, oleh sebab itu diperlukan pengetahuan teori dari ilmu – ilmu pendukung yang diperoleh dari pendidikan di bidang olahraga, penataran, atau melalui kegiatan sejenis. Terencana artinya pelatih harus menyusun program latihan agar tujuan latihan menjadi jelas. Sistematik artinya dalam proses berlatih melatih harus berurutan mengikuti program latihan yang telah dibuat. Sedangkan materi praktik yaitu penerapan dari metode untuk meningkatkan kemampuan teknik dan keterampilan gerak cabang olahraganya.
Oleh sebab itu, pelatih yang menguasai dan memahami tentang teori dan praktik diharapkan dapat merancang latihan dengan benar, tepat, dan berkualitas. Berkaitan dengan olahraga prestasi, berikut ini faktor – faktor penentu pencapaian prestasi prima dalam olahraga yang diklasifikasikan kedalam 4 aspek, antara lain :
1.   Aspek biologi
a.   Potensi / kemampuan dasar tubuh (fundamental motor skill), meliputi strength, speed, agility, coordination, power, muscular endurance (daya tahan otot), cardiorespiratory function (daya kerja jantung dan paru), flexibility, balance, accuracy, dan health for sport (kesehatan untuk olahraga)
b.   Fungsi organ – organ tubuh, meliputi daya kerja jantung – peredaran darah, daya kerja paru – sistem pernapasan, daya kerja pernapasan, daya kerja panca indra, dan lain sebagainya.
c.   Postur dan struktur tubuh, meliputi ukuran tinggi dan panjang tubuh, ukuran besar, lebar, dan berat tubuh, dan somato – type (bentuk tubuh : endomorf, mesomorf, dan ectomorf)
2.   Aspek psikologis
a.   Intelektual (kecerdasan IQ) yang ditentukan oleh pendidikan dan bakat
b.   Motivasi, meliputi motivasi internal dan eksternal
c.   Kepribadian, meliputi kepribadian yang menguntungkan dan kurang menguntungkan
d.   Koordinasi kerja otot dan saraf, meliputi kecepatan reaksi motorik, dan kecepatan reaksi karena rangsang penglihatan dan pendengaran
3.   Aspek lingkungan
a.   Sosial, meliputi kehidupan sosial ekonomi, interaksi antara pelatih, atlet, dan sesama atlet
b.   Prasarana  - sarana olahraga yang ada dan medannya
c.   Cuaca iklim sekitar
d.   Orang tua, keluarga, dan masyarakat, meliputi dorongan dan penghargaan
4.   Aspek penunjang
Aspek penunjang meliputi : (1) pelatih yang berkualitas tinggi, (2) program yang tersusun secara sistematis, dan (3) penghargaan dari masyarakat dan pemerintah.

2.   Pelatih
Melatih hampir sama dengan mengajar. Adapun persamaannya adalah harus menyusun program, melaksanakan program, memberikan bimbingan dan dorongan untuk memperoleh hasil yang lebih baik, serta melakukan penilaian tentang hasil yang diperoleh. Tetapi ada beberapa perbedaan antara melatih dan mengajar, antara lain sebagai berikut :

Tabel 1.1
Perbedaan antara melatih dan mengajar
Aspek
Melatih
Mengajar
Subjek
Pelatih
Guru
Objek
Anak latih / atlet / peserta latih
Siswa / murid / peserta didik
Tujuan
Menekankan pada kemampuan dari bisa menjadi mahir
Menekankan pada kemampuan dari tidak tahu menjadi tahu
Penilaian
Hasil akhir
Proses pembelajaran
Organisasi 
Klub, sekolah bukan formal
Sekolah formal

Seorang pelatih dalam melaksanakan tugasnya perlu memiliki bahan dan informasi yang benar tentang kepelatihan agar dapat menyusun program latihan dengan baik. Sehingga, tiga tahapan utama yang harus dimiliki oleh setiap pelatih adalah kemampuan : (1) menyusun program, (2) melaksanakan program, dan (3) mengkaji / mengevaluasi hasil program.
Pelatih adalah seseorang yang memiliki kemampuan profesional untuk membantu mengungkapkan potensi atlet menjadi kemampuan yang nyata secara optimal dalam waktu relatif singkat (Sukadiyanto, 2005 : 3). Menurut Tite Julianti, dkk. (2007 : 1.1) pelatih adalah seorang manusia yang memiliki pekerjaan sebagai perangsang (simulator) untuk mengoptimalkan kemampuan aktivitas gerak atlet yang dikembangkan dan ditingkatkan melalui berbagai metode latihan yang disesuaikan dengan kondisi internal dan eksternal individu pelakunya. Sedangkan menurut Pate, McClenaghan, & Rotella (1993 : 5) pelatih adalah seorang profesional yang tugasnya membantu atlet dan tim dalam memperbaiki penampilan olahraga.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pelatih adalah seseorang yang bertugas untuk mengoptimalkan prestasi atletnya dengan menggunakan metode ilmiah. Adapun ciri – ciri pelatih yang ilmiah antara lain sebagai berikut :
1.   Memiliki kemampuan menerima ide – ide baru
Satu ciri penting dari pelatih yang berhasil adalah mau mempertimbangkan ide – ide baru. Para pelatih yang menutup pikirannya mengenai informasi baru maka pelatihannya akan ketinggalan zaman karena pelatih yang berorientasi ilmiah akan secara aktif mencari informasi baru dan berusaha keras untuk mengubah praktik kepelatihannya sesuai dengan perkembangan pengetahuan.
2.   Mencari jawaban – jawaban ajaib
Kadang – kadang dalam dunia ilmu, seorang peneliti secara tidak sengaja menemukan suatu kenyataan yang mengubah secara cepat suatu bidang profesi. Tetapi, pelatih perlu berhati – hati dalam menafsirkan informasi yang dikemukakan apabila penliti tersebut tidak berhasil menyajikan dukungan ilmiah atas pernyataannya.
3.   Evaluasi terhadap teknik baru
Tidak adanya pemecahan yang pasti berdasarkan penelitian mengharuskan pelatih mengevaluasi sendiri teknik baru tersebut karena ilmuwan olahraga tidak akan pernah menjawab pertanyaan khusus olahraga yang jumlahnya banyak sekali yang muncul dalam pelatihan.
Berdasarkan pendapat di atas, pelatih perlu meningkatkan pengetahuannya tentang metodologi melatih dengan cara lebih terbuka dalam menanggapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) masa kini. Oleh sebab itu pula, pelatih pun harus memiliki bakat, seni, dan empiris, serta menggunakan ilmu pasti dalam melatih.
Berikut ini adalah tugas – tugas seorang pelatih                                                          
1.   Berusaha membantu meningkatkan prestasi atletnya semaksimal mungkin
2.   Merencanakan, menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi proses berlatih dan melatih
3.   Mencari dan memilih bibit – bibit atlet berbakat
4.   Memimpin dalam pertandingan / perlombaan
5.   Mengorganisir dan mengelola proses latihan
6.   Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
7.   Membentuk personality (kepribadian) atlet
Selanjutnya, peranan pelatih terhadap atlet antara lain sebagai berikut :
1.   Pelatih sebagai guru. Seorang pelatih mampu menanamkan pengetahuan dan ide, mampu menjadi pendidik yang ulung, membimbing dan membina atlet agar beretika dan bermoral baik serta jujur. Pelatih harus paham bagaimana konsep belajar gerak sehingga dapat diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan.
2.   Pelatih sebagai pelatih. Seorang pelatih harus mampu meningkatkan fisik, teknik, taktik, dan mental atlet.
3.   Pelatih sebagai instruktur. Seorang pelatih harus mampu memimpin, mengatur, dan mengorganisasi pelaksanaan kegiatan latihan
4.   Pelatih sebagai motivator. Seorang pelatih harus mampu memberi dorongan, semangat, dan motivasi.
5.   Pelatih sebagai penegak disiplin. Seorang pelatih dapat memberi hadiah dan hukuman kepada atlet selama proses latihan berlangsung ataupun pada saat bertanding.
6.   Pelatih sebagai manager. Seorang pelatih harus mampu mengatur dan membuat perencanaan latihan.
7.   Pelatih sebagai administrator. Seorang pelatih harus mampu membuat data (mengukur, mendata, dan menyimpulkan)
8.   Pelatih sebagai agen penerbit. Pelatih bekerjasama dengan media dan wartawan untuk memperkenalkan atau mempromosikan atletnya.
9.   Pelatih sebagai teman. Seorang pelatih harus bisa memberi dukungan, memberikan kesempatan kepada atlet untuk mengemukakan apa yang terjadi pada dirinya. Artinya, pelatih harus mampu menyesuaikan dunianya dengan dunia atletnya, seperti mendengar keluhan – keluhan dan masalah – masalah yang terjadi pada diri atlet. Peranan ini efektif dilakukan pada saat di luar kegiatan latihan.
10.    Pelatih sebagai ilmuwan. Seorang pelatih harus mampu menganalisis, mengevaluasi, dan memecahkan masalah selama proses berlatih – melatih.
11.    Pelatih sebagai mahasiswa. Pelatih harus bisa mendengar, belajar, menggali ilmu dari pemain.
Kemudian, Yusuf Hadisasmita & Aip Syarifuddin (1996 : 28-29) menyatakan bahwa untuk memperoleh keberhasilan dalam kepelatihan diperlukan 3 kemampuan utama, antara lain sebagai berikut :
1.   Pengetahuan / ilmu diperlukan untuk melakukan pengkajian teoritis mengenai masalah yang berhubungan dengan pelatihan. Ilmu – ilmu yang dibutuhkan tersebut adalah ilmu – ilmu yang utama tentang masalah keolahragaan dan ilmu dari bidang studi lainnya sebagai penunjang untuk pelatihan.
2.   Seorang pelatih harus mempunyai keterampilan yang memadai meliputi : (a) keterampilan teknis, dimana keterampilan ini akan mempermudah dalam menyampaikan materi kepada atlet yang dibina, (b) keterampilan konseptual, dimana pelatih mampu melihat keadaan dengan analisisnya dan mampu memberikan konsep atau gagasan baru yang sangat diperlukan oleh atletnya, (c) keterampilan manajerial, dimana keterampilan ini berhubungan dengan orang lain, dan (d) keterampilan hubungan antar personal, dimana seorang pelatih harus bisa memberikan motivasi dan dapat berkomunikasi dengan baik kepada atletnya.
3.   Sikap hidup / falsafah. Artinya pelatih harus sadar dimana pelatih tersebut berada sehingga sikap serta perilaku yang dibawanya tidak berbeda dengan sistem yang dianut atlet dan masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan pula bahwa seorang pelatih yang baik minimal harus memiliki (1) kemampuan dan keterampilan cabang olahraga yang dibina, (2) pengetahuan dan pengalaman dibidangnya, (3) dedikasi dan komitmen melatih, dan (4) memiliki moral dan sikap kepribadian yang baik.

1.   Atlet
Kata atlet berasal dari bahasa Yunani “athlos” yang berarti kontes, artinya orang yang ikut serta dalam suatu kompetisi olahraga. Atlet disebut juga dengan atlet, terutama yang mengikuti perlombaan atau pertandingan. Jadi, seseorang yang belum pernah mengikuti kompetisi olahraga (antar sekolah, klub, perkumpulan, daerah, kecamatan, provinsi, atau negara) belum disebut sebagai atlet meskipun orang tersebut sudah menekuni olahraganya dalam waktu yang lama.
Menurut SUkadiyanto (2005 : 4) atlet adalah seseorang yang menggeluti dan aktif melakukan latihan untuk meraih prestasi pada cabang olahraga yang dipilihnya. Menurut Tite Juliantine, dkk. (2007: vii) atlet adalah seseorang yang siap untuk melaksanakan latihan atau instruksi pelatih. Agar atlet dapat berprestasi maksimal, maka pelatih harus mampu merencanakan dan menyusun suatu program latihan yang efektif agar aspek – aspek fisik, teknik, taktik dan mental atlet dapat berkembang secara maksimal.
Prestasi olahraga merupakan aktualisasi dari akumulasi hasil proses latihan yang ditampilkan atlet sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Oleh sebab itu, selama proses berlatih melatih, diperlukan kerjasama yang baik antara pelatih, atlet, dan orang tua yang merupakan hubungan timbal balik agar tujuan latihan tercapai. Dengan adanya hubungan timbal balik yang baik diharapkan akan saling menguntungkan bagi semua pihak.

B.    FALSAFAH & KEPEMIMPINAN DALAM COACHING

A. Falsafah Dasar
Setiap orang mempunyai falsafah hidup masing – masing termasuk pelatih. Falsafah seseorang tercermin dalam pandangannya tentang dunia, tentang situasi sekitarnya, tentang hubungan antar manusia, serta tentang nilai – nilai yang diberikannya untuk semua itu. Falsafah ialah suatu sistem dari prinsip – prinsip yang digunakan untuk membimbing orang dalam kegiatan – kegiatannya (Martin & Lumsden, 1987; Harsono, 1988:1).
Seorang pelatih harus memiliki falsafah yang baik tentang latihan dan olahraga. Jadi, jika berbicara mengenai falsafah coaching, artinya berbicara mengenai suatu sikap atau prinsip – prinsip dasar yang menuntun tabiat dan perilaku pelatih dalam situasi praktik. Sebagai contoh, pelatih yang falsafah coaching-nya “memenangkan setiap pertandingan”, maka sikap, perilaku, cara menangani olahraga, dan atletnya akan tercermin dari falsafah tersebut. Dengan mengamati perilaku atletnya, dapat diketahui falsafah pelatihnya.
Seperti yang dikemukakan oleh Harsono (1988 : 3) falsafah seorang pelatih harus tercermin di dalam pendapatnya dan tingkah lakunya dalam melaksanakan tugasnya sebagai coach dan dalam membina atlet – atletnya agar dapat berkembang secara optimal kesehatan fisik, mental, spiritual, dan sosialnya.
Hampir sama dengan falsafah, kode etik juga merupakan suatu perangkat peraturan dan prinsip yang menuntun seseorang dalam perilakunya sehari – hari. Etik adalah suatu disiplin yang biasanya mengacu kepada masalah – masalah yang berhubungan dengan baik dan buruk terhadap kewajiban dan tanggung jawab moral.
Jadi, falsafah dan etik sebagai pelatih adalah saling berhubungan. Kedua – duanya mengacu kepada sistem nilai – nilai seseorang, sikap, kepercayaan, dan prinsip yang menuntun perilaku orang tersebutsebagai pelatih.
Sebelum Anda ingin terjun dalam bidang coaching, sebelum ingin berhubungan dengan orang lain dan mempunyai pengaruh terhadap orang lain, sebaiknya Anda mengenal diri Anda sendiri terlebih dahulu, dan menjawab pertanyaan – pertanyaan berikut ini :
1.   Mengapa saya ingin menjadi pelatih?
2.   Apa yang saya harapkandari melatih?
3.   Apakah saya benar – benar siap untuk berkorban dan menekuni bidang itu?
4.   Apakah kekuatan – kekuatan saya?
5.   Apakah kelemahan – kelemahan saya?
6.   Apakah saya bisa menanamkan pengaruh – pengaruh positif pada atlet – atlet saya kelak?
Pertanyaan tersebut penting bagi seorang pelatih untuk mengenal diri sendiri sebab akan memberikan arah kepada pelatih, ke ana pelatih tersebut akan pergi, dan apa yang akan pelatih lakukan sehingga menjadi falsafahnya dalam melatih.

B.  Motivasi
Motivasi adalah sebagai mesin atau energi manusia untuk berperilaku mencapai tujuan tertentu. Menurut Apta Mylsidayu (204;23) motivasi adalah kekuatan yang mendorong seseorang untuk beraksi / tidak beraksi untuk menentukan arah aktivitas terhadap pencapaian tujuan. Selanjutnya, Harsono (1988; 2-3) yang memaparkan beberapa motivasi seseorang memilih karir sebagai pelatih, meliputi : (1) mengamalkan pengetahuan dan keterampilannya pada atlet, (2) senang menolong atlet dan memperoleh kepuasan jika atlenya memperlihatkan peningkatan dalam prestasinya, (3) merasa memperoleh power yang tidak bisa diperoleh di bidang lain, (4) untuk memperoleh status dan pengakuan di masyarakat, (5) memberikan pengaruh dan untuk memperlancar urusan – urusan dalam olahraga yang digeluti, (6) senang mengasuh / membimbing anak muda, (7) senang karena terlibat terus menerus dalam sensasi stres dan sensasi pertandingan, dan (8) sebagai mata pencaharian.
Selanjutnya, menjadi seorang pelatih pun harus bisa memberi motivasi kepada atletnya. Adapun teknik motivasi yang dapat digunakan antara lain sebagai berikut :
1.   Motivasi Verbal
Motivasi verbal adalah motivasi dengan kata – kata atau ucapan, bicara, berdiskusi. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan motivasi verbal : (1) memberi pujian, (2) memberi koreksi dan sugesti, menjelaskan peranan dalam tim agar atlet lebih bangga dan bertanggung jawab, dan (4) memberi petunjuk. Contohnya, pada saat melatih bolavoli, ada anak yang putus asa karena tidak bisa melakukan servis. Pelatih memberikan motivasi dengan berkata : “ayo semangat, kamu pasti bisa”, atau contoh lainnya pada saat latihan pelatih mengatakan : “bagus, good job, nice” kepada atletnya karena sudah berhasil menembak dan menghasilkan poin.
2.   Motivasi Behavioral / Perilaku
Segala perilaku pelatih akan diteladani oleh atletnya dan dinilai oleh masyarakat. Pelatih memegang peranan penting dalam memberikan contoh perilaku yang positif. Contoh, pelatih yang selalu datang tepat waktu pada saat latihan sedangkan atletnya banyak terlambat. Lama kelamaan, atlet datang latihan tepat waktu dan lebih dulu datang daripada pelatihnya. Dengan contoh behavioral yang baik diharapkan atlet dapat termotivasi untuk bersikap dan berperilaku positif dalam usahanya mencapai keberhasilan baik dalam aktivitas olahraga maupun aktivitas lainnya di masyarakat.
3.   Motivasi Insentif (Bonus) dan Ganjaran
Motivasi ini adalah teknik motivasi dengan cara memberikan bonus yang bertujuan untuk menambah semangat berlatih, menambah gairah / ambisi untuk berprestasi, dan memperpendek proses belajar / latihan. Misalnya, pelatih berjanji kepada atletnya apabila menang dalam pertandingan akan diberikan bonus berupa uang. Tetapi, motivasi insentif hendaknya diberikan dalam situasi yang tepat dan jangan berlebihan karena akan menjadi kurang baik dan berdampak negatif sehingga atlet bersikap kurang wajar.
Selain itu motivasi ganjaran / hukuman juga dapat digunakan pada saat latihan. Misalnya, memberi hukuman push up untuk memotivasi atlet agar tidak terlambat pada saat latihan, tetapi pelatih mengatakannya seperti ini : “bagi yang terlambat datang latihan, akan diberikan hadiah berupa push up”. Motivasi ganjaran tidak dikatakan sebagai “hukuman” tetapi “hadiah” karena kata hukuman bermakna negatif.
4.   Motivasi Visualisasi (Imajinasi)
Teknik motivasi ini bertujuan untuk mempercepat proses latihan dengan membangkitkan semangat atlet. Caranya dengan menyuruh atlet untuk melihat, memperhatikan, dan membayangkan dengan seksama suatu pola gerakan kemudian mengingat – ingat gerakan tersebut. Contohnya, seorang anak yang membayangkan teknik layup dalam olahraga bola basket yang baru saja dijelaskan oleh pelatihnya, anak tersebut membayangkan gerakannya dengan mata tertutup dan gerakan yang dibayangkan slow motion.
5.   Motivasi Intimidasi / Fear Motivation
Teknik motivasi ini berupa ditekan / ditakut – takuti. Adapun cara untuk membangkitkan motivasi ini antara lain : (1) selalu menekankan kepada atlet untuk mematuhi peraturan yang berlaku, baik peraturan permainan / pertandingan/ disiplin tim, (2) dibuat takut jika tidak menyelesaikan dan melaksanakan latihan dengan baik, (3) dibuat takut akan kritik dan kecaman jika tidak melaksanakan latihan dengan baik, (4) dibuat takut jika disisihkan dari tim, dan (5) dibuat takut jika tidak memenuhi harapan yang ditetapkan pelatih, KONI, dan pemerintah. Sebagai contoh, pelatih mengatakan kepada atletnya : “saya akan memilih atlet – atlet yang rajin latihan untuk ikut turnamen walaupun skill-nya tidak bagus, dari pada atlet yang memiliki skill yang bagus tetapi tidak pernah latihan karena atlet tersebut akan mengacaukan pola permainan”, atau “bagi atlet yang tidak datang latihan akan dipotong uang pembinaannya”.
6.   Motivasi Berbicara Sendiri (Self Talk/Pep Talks)
Motivasi ini umum diberikan sebelum pertandingan dimulai atau diberikan pada saat istirahat. Self talks harus diberikan pada saat yang tepat karena jika diberikan pada saat yang salah dapat merusak dan mengacaukan konsentrasi. Misalnya, saat pertandingan akan dimulai dan atlet memasuki lapangan bola basket, atlet berkata pada dirinya sendiri : “point, point, dan point”.
7.   Motivasi Supertisi
Bagi sebagian orang, supertisi sering dianggap kurang masuk akal. Supertisi adalah suatu motivasi yang percaya pada peralatan / simbol yang dianggap memiliki kekuatan / daya dorong mental. Terkadang supertisi dapat mengubah tingkah laku menjadi lebih bersemangat, lebih ambisius, dan lebih besar kemauannya untuk sukses. Misalnya, seorang pemain bola akan merasa lebih percaya diri apabila memakai gelang, seorang pemain tenis tidak dapat bermain dengan baik ketika boneka kesayangannya ketinggalan di rumah.
8.   Motivasi Rituals (Berupa Perilaku)
Rituals adalah suatu motivasi yang berupa perilaku sebelum / saat / sesudah bertanding yang pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan, misalnya berdoa sebelum bertanding, ke kamar kecil sebelum bertanding, sujud syukur pada saat mencetak gol, dan lain sebagainya.

C. Kepemimpinan dalam Coaching
Kepemimpinan dalam suatu tim adalah vital agar tim tersebut dapat berfungsi secara efektif (Harsono, 1988 : 33). Diperkuat oleh Pate, et al (1993 : 11) tanpa adanya pemimpin kemungkinan kecil memperoleh kesepakatan mengenai orientasi tujuan atau tentang bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Jelaslah, bahwa kepemimpinan sangatlah penting untuk kelancaran kerja tim secara efektif. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mampu menanamkan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan anggota lain dalam kelompoknya.
Selanjutnya, terdapat berbagai macam gaya kepemimpinan yang diklasifikasikan kedalam tipe kepribadian pelatih. Sebelum membahas tipe – tipe kepribadian pelatih, akan dibahas mengenai kepribadian itu sendiri.
Konsep mengenai kepribadian begitu luas sehingga sukar untuk memberikan batasannya secara tepat. Secara sederhana, teori mengenai kepribadian biasanya dicerminkan oleh sifat – sifat, ciri – ciri perangai, kebiasaan – kebiasaannya yang khas yang membedakannya dengan kepribadian orang lain. Kepribadian adalah unik dan khas. Kepribadian dapat dibentuk dan berkembang selama hidup. Perkembangan kepribadian selalu dinamis / tidak statis, oleh karena itu tidak akan pernah berhenti. Berbagai faktor yang bisa menyebabkan perubahan – perubahan tersebut adalah faktor lingkungan, faktor fisik, mental, emosional, social, dan intelegensi.
Selain itu, kepribadian pelatih juga bisa ikut membentuk kepribadian atlet yang dilatihnya. Pelatih harus sadar bahwa dia bisa mempengaruhi perkembangan watak dan kepribadian atlet – atletnya, terutama atlet – atlet muda. Pengaruh ini bisa positif / negatif dan bisa memperbaiki / merusak. Oleh sebab itu, pelatih perlu mengenal kepribadiannya sendiri, kekuatan – kekuatannya, kelemahannya, motifnya, keinginannya, dan dorongan hatinya. Berikut ini gaya kepemimpinan pelatih :
1.   Pelatih yang Otoriter (Authoritarian Coach)
Pelatih yang otoriter memiliki ciri – ciri sebagai berikut : (1) Berpegang teguh pada disiplin, (2) Biasanya menerapkan sistem hukuman untuk memaksa atlet patuh pada peraturan, (3) Ketat dalam rencana dan jadwal latihan sehingga kegiatan padat dan jarang sekali ada waktu terbuang dalam latihan, (4) Bisa kejam dan sadis, (5) Bukan pribadi yang hangat atau menyenangkan, (6) Sering menggunakan teknik ancaman untuk motivasi, (7) Sangat terorganisir dengan baik, (8) Jadwal latihan terencana dengan baik, (9) Sangat bersemangat dalam tugas melatih, dan (10) Menghormati dan menghargai orang – orang yang berlatih dengan tekun dan bersemangat.
Keuntungan dari pelatih yang otoriter : (1) Mempunyai disiplin yang tinggi, (2) Tim agresif, (3) Punya semangat bersaing yang tinggi, (4) Penuh keyakinan, (5) Selalu semangat dalam bertanding, dan (6) Tim terorganisir dengan baik. Kelemahannya adalah (1) Mudah timbul perselisihan dalam tim jika penampilan dalam pertandingan buruk dan tim menderita kalah terus menerus, (2) pelatih dan atlet saling menuduh sebagai penyebab kegagalan, dan (3) jika kepercayaan telah rusak, maka sulit untuk mempersatukan dan menumbuhkan minat para anggotanya kembali.
2.   Pelatih yang Demokratis
Ciri – ciri kepribadiannya antara lain : (1) Senang memberi pujian, (2) Bersikap ramah dan bersahabat, (3) Dapat menerima pendapat dan saran, (4) Sangat luwes membuat rencana latihan, meskipun terkadang tidak jelas dan membingungkan sehingga atlet sanksi terhadap kompetensi pelatih, dan (5) Sering ragu mengenai metode / sistem mana yang akan diterapkan, sehingga sering mencoba – coba alternatif metode / sistem.
Keuntungan dari pelatih demokratis adalah : (1) Kekompakan tim baik, (2) Hubungan antar atlet akrab dan saling membantu, (3) Memberikan kesempatan kepada atlet untuk mengembangkan permainannya ketika bertanding, (4) Tim kadang – kadang di luar dugaan bisa menghasilkan prestasi yang baik, (5) Kalah / menang bukanlah suatu masalah yang terlalu dirisaukan / dirayakan, (6) Rasa sedih / depresi  jika kalah tidak berlangsung lama, dan (7) Selama bertanding atlet tidak mengalami ketegangan karena tidak ada ancaman hukuman dari pelatih. Kelemahannya adalah (1) Keluwesan dan keterbukaan pelatih terhadap saran – saran seringkali dianggap sebagai suatu kelemahan, apalagi saat tim sedang mengalami kekalahan, (2) Kebaikan pelatih sering dimanfaatkan atlet, dan (3) atlet yang lemah / malas tidak tertangani dengan baik. 
3.   Pelatih yang Santai (Easy Going Coach)
Ciri – ciri pelatih santai antara lain : (1) Tidak serius dalam menangani tim, (2) Tidak bisa menggugah semangat tim, (3) Jadwal latihan tidak terinci, (4) Hampir tidak pernah mengalami kebingungan sekalipun dalam suasana panik tetap tenang, (5) Kesan sebagai orang dingin dimata orang dan tidak banyak bicara, dan (6) Bersikap pasif, santai, tidak pernah ada beban stres.
Keuntungannya adalah (1) Pemain tidak merasa stres, (2) Suasana tim rileks, (3) Komunikasi pelatih-atlet lancar, (4) Atlet bebas mengemukakan pendapat, (5) Jadwal latihan hasil kesepakatan bersama tetapi atlet lebih dominan dalam penentuannya, dan (6) Atlet merasa lebih bebas dan tidak tergantung pada pelatih. Kelemahannya adalah (1) Atlet yang serius tidak memperoleh banyak manfaat, (2) Atlet mudah melemparkan kesalahan pada pelatih jika gagal dalam pertandingan, (3) Tidak ada rencana jadwal latihan yang menyeluruh, (4) Tingkat kebugaran atlet rendah, (5) Atlet memang tidak banyak bergantung pada pelatih tetapi sering kali tidak yakin dengan apa yang harus dilakukan, dan (6) Masalah yang timbul tidak pernah ditangani secara serius.
Berdasarkan gaya kepemimpinan pelatih yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap gaya kepemimpinan pelatih memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh sebab itu, untuk menjadi pelatih yang baik, seorang pelatih harus bisa mengkombinasikannya dengan cara menggunakan keuntungan dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut, seperti pada saat melatih menggunakan gaya kepemimpinan otoriter agar atlet mempunyai mental yang baik, ketika sedang bertanding menggunakan gaya kepemimpinan demokratis supaya atlet dapat mengembangkan permainanya, dan ketika di luar latihan menggunakan gaya kepemimpinan yang santai agar bisa menjadi teman untuk menjalin kedekatan kepada atlet sehingga atlet tidak merasa kaku terhadap pelaih. Kesimpulan lainnya adalah pelatih yang sukses menggunakan gaya kepemimpinan yang luwes yang memungkinkannya memenuhi peran kepelatihan yang beragam.
D.        Sikap Pelatih Menghadapi Atlet yang Bermasalah
Secara umum, ada tiga tipe atlet antara lain (1) atlet yang mempunyai motivasi dari dalam diri (intrinsik) misalnya berlatih karena gemar berolahraga atau yakin bermanfaat untuk kesehatan, (2) atlet yang berlatih karena motivasi dari luar diri (ekstrinsik), dan (3) atlet yang tidak mempunyai motivasi intrinsik tetapi jarang pula positif terhadp motivasi ektrinsik .
Artinya, hampir setiap atlet selalu menimbukan masalah bagi pelatih. Bukan saja atlet yang keras kepala, melawan, atau acuh tak acuh saja, tetapi atlet yang pendiam dan tenang pun sering membuat pelatih menjadi pusing. Sesuai dengan perilakunya, ada bermacam-macam atlet yang bermasalah dan sikap yang harus pelatih lakukan untuk menghadapi atlet yang bermasalah tersebut antara lain sebagai berikut.
1.     Atlet yang Menolak Coaching
Adapun ciri-ciri atlet yang menolak coaching antara lain: (1) Tidak mau melakukan yang diinstruksikan pelatih, (2) Menghindari pelatih, (3) Makin lama makin menjauh dari pelatih dan teman-teman, (4) Prestasi latihan hari ini dan besok sangat berbeda, dan (5) meminta nasehat dan dukungan dari pelatih yang lama.
Sikap pelatih menghadapi atlet ini adalah (1) Usahakan pelatih tidak terlalu dekat, (2) Biarlah atlet berlatih sendiri, (3) jangan mendekatinya kecuali jika atlet tersebut meminta sendiri, (4) jangan berkomunikasi / mencoba mendekati secara langsung tetapi jika terpaksa terjadi komunikasi batasi dengan jawaban singkat dengan 1 atau 2 kata saja, atau dengan isyarat tangan, kepala, atau anggota tubuh lainnya, dan (5) jika atlet terus mencoba untuk berhubungan dengan pelatih (komunikasi) cobalah untuk tetap hangat.
2.     Atlet yang Melawan
Ciri-ciri atlet yang melawan anatar lain: (1) Latihan tidak sesuai dengan jadwal, (2) Mengajukan tuntutan yang berlebihan dan perhatian istimewa, misalnya menu makanan, (3) iri dengan anggota tim yang lain, (4) mementingkan diri sendiri, (5) Menolak dan tidak patuh kepada peraturan, (6) Saat latihan tidak jelas kemana arah dan tujuannya, (7) sukar membangun hugungan emosional yang akrab dengan yang lain, (8) Biasanya tergolong cerdas, dan (9) Tidak mau belajar dari pengalaman.
Sikap pelatih menghadapi atlet ini adalah pelatih harus benar-benar tahu tentang cabang olah raga yang digeluti karena biasanya atlet ini cerdas dan tidak segan-segan untuk menjadikan pelatih mangsa dari rasa bersalah.
3.     Atlet yang Terlalu Tegang
Ciri-ciri atlet yang terlalu tegang antara lain: (1) Gerakan kaku, (2) mengeluh kedinginan / berkeringat dingin, (3) Leher dan pundak kaku, (4) terkadang sakit perut, (5) Hilang konsentrasi, (6) Tidak nafsu makan sebelum bertanding, dan (7) Pesimis. Ketika menemukan atlet yang terlalu tegang, pelatih harus segera menanganinya karena ketegangan yang berlebihan akan menimbulkan kecemasan pada diri atlet.
Adapun sikap pelatih menghadapi atlet ini adalah (1) Memberi pujian setiap melakukan hal positif, (2) Biarkan dia mengeluh dan mengungkapkan perasaannya, (3) Katakan bahwa yang dialaminya adalah hal yang lumrah, (4) Katakan bahwa sebagai pelatih merasakan pula beban mental yang lebih besar dari atletnya, dan (5) Memberi saran kepada atlet untuk melakukan peregangan otot untuk meminimalisir ketegangan yang dirasakan.
4.     Atlet yang Takut Sukses
Ciri-ciri atlet yang takut sukses antara lain: (1) Takut teman – teman iri jika ia sukses, (2) Tidak mau menjadi yang terbaik, (3) Takut menang, (4) Jika menjadi juara terus dihantui beban mental karena harus mempertahankan juara, (5) Jika seorang juara kalah, akan dapat kecaman dari masyarakat, penonton, pers, dan lain – lain, dan (6) Merasa jika menang menyakiti hati orang lain sehingga merasa bersalah.
Sikap pelatih menghadapi atlet ini adalah (1) Pelatih harus menjelaskan kepada atlet bahwa pelatih mengerti bagaimana rasanya menjadi juara (senang dan beban mental), (2) Katakan semua juara pernah mengalami hal tersebut dan mampu mengatasinya, dan (3) Buatlah pengertian bahwa tidak mudah untuk memperoleh sukses dan sukses bukan berarti salah.
5.     Atlet yang Selalu Menarik Diri dan Curiga
Ada dua tipe atlet yang selalu menyendiri, yakni (1) Atlet yang menarik diri, karena merupakan tipe penyendiri, sederhana, rendah hati, dan tidak suka menjadi pusat perhatian orang, canggung berada diantara sekumpulan orang banyak, meski pun dia tetap selalu penuh percaya diri, dan (2) Atlet yang curiga, memiliki ciri – ciri selalu tampak murung, tidak gembira, senang menyendiri, diajak bicara hanya menjawab singkat “ya/tidak”, jarang berkomentar, apabila ada yang ingin mendekati reaksinya adalah curiga sehingga semakin lama makin dijauhi oleh teman – temannya.
Sikap pelatih menghadapi atlet ini adalah penangannya harus hati – hati karena atlet sangat peka, senyum, pujian, penghargaan, tepukan di bahu, serta menyakinkan atlet bahwa pelatih percaya pada atlet dan dapat menolongnya.
6.     Atlet yang Merasa Tertekan
Ciri-ciri atlet yang merasa tertekan antara lain: (1) Kurang aktif, (2) Fisik tampak lemah, (3) Reaksi menurun, (4) Tampak lelah, (5) Mulai mangkir / telat latihan, dan (6) Perasaan serba salah.
Sikap pelatih menghadapi atlet ini adalah (1) Memberi dukungan, dorongan, nasehat/kritik yang membangun, (2) Menganjurkan atlet untuk jangan terlalu memikirkan hal yang telah berlalu, dan (3) Memberikan kesempatan kepada atlet untuk mengungkapkan segala sesuatu yang menimbulkan masalah pada dirinya.
7.     Atlet yang Berpura-pura Sakit
Atlet yang berpura – pura sakit adalah manusia – manusia yang belum dewasa dan masih kekanak – kanakan untuk menghindari tanggung jawab atau situasi yang bisa menimbulkan sakit atau lelah. Ciri – ciri atlet yang berpura – pura sakit antara lain : (1) Suka bohong untuk menghindari latihan, (2) Terlalu sering memberikan alasan sakit/luka/cedera, dan (3) Terlalu sering meratap/mengeluh.
Sikap pelatih menghadapi atlet ini adalah harus diawasi dengan ketat dan sering diberi nasehat/petuah karena tanpa latihan tidak akan pernah mencapai potensi optimal dalam olahraga.


C.  PEMANTAUAN BAKAT OLAHRAGA

Pertumbuhan merupakan suatu kondisi yang menunjukkan perubahan ukuran tentang bertambahnya tinggi dan berat badan, sedangkan perkembangan menunjukkan perubahan tentang perilaku atau kejiwaan dari seseorang. Menurut Tangkudung dan Wahyuningtyas Puspitorini (2012 : 19) perkembangan anak pada hakikatnya tergantung dari usaha anak tersebut dalam mengembangkan dirinya.
Dalam upaya peningkatan prestasi olahraga perlu terus dilakukan pembinaan atlet sedini mungkin melalui pencarian dan pemantauan bakat, pembinaan, pendidikan, dan pelatihan olahraga prestasi yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi secara lebih efektif dan efisien serta peningkatan kualitas organisasi keolahragaan di tingkat pusat maupun daerah. Namun demikian, di dalam pelaksanaannya bila tidak dilakukan dengan hati – hati maka akan mengakibatkan banyaknya atlet yang keluar dari kegiatan olahraga tersebut dan mati sebelum berkembang (H.M. Yusuf Hadisasmita & Aip Syarifuddin, 1996 : 34).
Pemantauan terhadap anak yang berpotensi dalam olahraga sangat erat kaitannya dengan pencarian bibit – bibit atlet yang berbakat. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan bibit – bibit atlet berbakat perlu diadakan pemantauan terhadap anak – anak yang berpotensi untuk terus dikembangkan lebih lanjut sehingga nantinya diharapkan akan dapat mencapai prestasi maksimal. Sehingga pembinaan dan pengembangan atlet hendaknya sudah dilakukan pada sejak usia anak – anak atau usia muda.
Pembinaan dan pengembangan atlet sejak usia muda lebih berhasil dibandingkan dengan atlet yang memulainya terlambat. Hal ini disebabkan pada anak – anak usia muda belum banyak pengaruh negatif yang dapat menjadi faktor penghambat dalam usaha pengembangan potensi atlet. Berikut ini keuntungan pembinaan dan pengembangan atlet yang dimulai pada usia muda :
1.   Bakat akan lebih berkembang cepat
2.   Organ tubuh telah berkembang sejak dini, misalnya jantung dan paru
3.   Fleksibilitas dan kekuatan otot lebih mudah dikembangkan sehingga kemampuan otot dapat menjadi lebih baik
4.   Indera dan syarat mulai dilatih sejak dini
5.   Pertumbuhan tubuh sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya usianya 
Bertitik tolak dari uraian tersebut, maka maksud dan tujuan dari pemantauan bakat olahraga adalah memiliki pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang positif terhadap pentingnya melakukan pemantauan bakat olahraga pada setiap anak untuk meningkatkan dan mengembangkan minat dan bakatnya terhadap olahraga, sehingga pada akhirnya memperoleh bibit – bibit berbakat untuk terus dibina dalam peningkatan prestasinya. Adapun aspek – aspek yang perlu dipahami dan dikuasai dalam pemantauan bakat olahraga antara lain : (1) Pemasalan olahraga, (2) pemanduan bakat, (3) kriteria bibit unggul.

A. Pemasalan Olahraga
Pemasalan berasal dari kata massal, yang artinya mengikutsertakan atau melibatkan banyak orang. Jadi, yang dimaksud dengan pemasalan olahraga adalah suatu upaya untuk mengikutsertakan peserta sebanyak mungkin supaya mau terlibat dalam kegiatan olahraga dalam rangka mencari bibit – bibit atlet berbakat yang dilakukan secara teratur dan terus menerus (H.M. Yusuf Hadisasmita & Aip Syarifuddin, 1996:36). Diperkuat oleh Tangkudung dan Wahyuningtyas Puspitorini (2012:22) yang menyatakan pemasalan adalah suatu upaya untuk mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat dengan sasaran melibatkan semua kelompok umur. Namun, permasalahan yang dimaksud disini adalah upaya mengikutsertakan anak – anak sekolah sebanyak mungkin agar mau terlibat dalam kegiatan olahraga.
Adapun tujuan dari pemasalan olahraga adalah untuk (1) Meningkatkan kualitas tubuh yang terdiri dari kesehatan jasmani, rohani, dan psikis, (2) Pembentukan watak dan kepribadian, dan (3) menanamkan dasar – dasar keterampilan gerak untuk mencari bibit berbakat.
Pelaksanaan dalam pemasalan olahraga ditujukan kepada para pelajar merupakan langkah awal dalam mencari atau menemukan bibit – bibit atlet yang berbakat. Pelaksanaan dalam pemasalan olahraga hendaknya dilakukan secara bertahap, misalnya dari tahap bawah ke lebih tinggi, atau dari tahap yang sederhana ke lebih kompleks. Berikut ini ada 2 tahap yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pemasalan olahraga.
1.   Pelaksanaan pemasalan olahraga yang bersifat rekreatif
Cara pemasalan ini dikenal dengan dengan 5 M, yaitu melakukan kegiatan olahraga yang bersifat murah, meriah, massal, menarik, dan mudah dilakukan oleh semua orang. Cara pemasalan ini bertujuan untuk membina dan meningkatkan kesegaran jasmani, mengembangkan keterampilan dan kemampuan bermotor, merangsang dan mendorong anak agar turut aktif dalam kegiatan olahraga sehingga anak memperoleh kesenangan, kegembiraan, dan kepuasan dalam kegiatan olahraga tersebut.
2.   Pelaksanaan pemasalan olahraga yang bersifat untuk menanamkan dasar – dasar keterampilan gerak
Cara pemasalan ini bertujuan untuk meletakkan dasar – dasar bagi pembinaan cabang – cabang olahraga. Kegiatan ini diberikan pada anak – anak usia muda untuk berperan serta aktif dalam kegiatan olahraga, baik dalam latihan pada ekstrakurikuler, maupun dalam kompetisi (antar kelas/sekolah/perkumpulan) yang terorganisasi dengan baik.
Untuk dapat terlaksananya pemasalan olahraga, maka diperlukan adanya suatu strategi agar benar – benar dapat mencapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Adapun strategi pemasalan olahraga tersebut antara lain sebagai berikut :
1.   Menyediakan sarana dan prasarana olahraga yang memadai sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Apabila pemasalan olahraga ini akan diterapkan di sekolah – sekolah, maka sekolah – sekolah tersebut perlu menyediakan sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan kemampuan untuk masing – masing tingkatan siswa.
2.   Menyiapkan tenaga pengajar atau pelatih olahraga yang memiliki kemampuan untuk menggerakkan olahraga pada anak – anak usia muda di sekolah
3.   Mengadakan berbagai bentuk pertandingan cabang olahraga bagi anak – anak sekolah, misalnya pertandingan antar kelas, sekolah, atau perkumpulan
4.   Mengadakan demonstrasi pertandingan antara atlet – atlet berprestasi
5.   Mengadakan kerjasama antara sekolah dengan orang tua siswa
6.   Memberikan motivasi kepada siswa agar mau berolahraga
7.   Merangsang minat melalui media masa, video, televisi, radio, dan lain sebagainya

B.  Pemanduan Bakat
Bakat adalah bawaan secara alamiah dari lahir dan merupakan pembawaan yang diperoleh secara genetik dari faktor keturunan. Diperkuat oleh Andi Suhendro, dkk. (2007:2.4) bakat merupakan kemampuan yang terpendam yang dimiliki seseorang sebagai dasar dari kemampuan nyatanya. Sedangkan (H.M. Yusuf Hadisasmita & Aip Syarifuddin, 1996:53) bakat pada umumnya diartikan sebagai suatu kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu dikembangkan lebih lanjut dan dilatih agar bakat itu dapat terwujud.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sifat anak cenderung mewarisi sifat – sifat orang tuanya baik secara biologis maupun secara psikologis. Contohnya, bila Ayah atlet marathon, dan Ibu atlet sprinter, maka salah satu anaknya akan mewarisi bakat ayah atau ibunya.
Bakat seseorang dalam olahraga merupakan kemampuan dasar yang berhubungan dengan penampilan gerak dan kombinasi dari berbagai kemampuan yang berhubungan dengan sikap dan bentuk tubuh seseorang (Andi Suhendro, 2007:2.4). Proses identifikasi atlet berbakat menjadi bagian yang sangat penting dalam olahraga.
Menurut H.M. Yusuf Hadisasmita & Aip Syarifuddin (1996:53) pemanduan bakat adalah proses dalam usaha untuk menemukan atau mendapatkan tanda / dasar yang dimiliki oleh seseorang yang dibawa sejak lahir, kemudian memprediksi apakah mempunyai peluang dalam suatu cabang olahraga tertentu untuk dibina dan dikembangkan menjadi atlet yang memiliki potensi tinggi sehingga diharapkan dapat berhasil dalam mengikuti latihan dan mencapai puncak prestasi.
Artinya, pemanduan bakat olahraga merupakan salah satu seni sebab menemukan individu berbakat dan memilihnya sejak usia dini, kemudian dimonitor terus menerus, dan membantu anak berbakat tersebut untuk mencapai tingkat maksimal. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka tujuan pemanduan bakat adalah untuk mengidentifikasi dan menyeleksi atlet yang mempunyai kemampuan terbaik dalam olahraga.
Pemanduan bakat bukanlah hal yang baru dalam olahraga. Pemanduan bakat telah dilakukan di Eropa Timur pada tahun 60-an. Hasilnya pada tahun 1972, 1976, 1980, dan 1984 Jerman Timur meraih medali pada Olimpiade. Keuntungan dari identifikasi pemanduan bakat adalah (1) Mengurangi volume kerja pelatih dan lebih efektif, (2) Cara substansi menurunkan waktu untuk mencapai prestasi tertinggi, (3) Meningkatkan daya saing diantara atlet, (4) Meningkatkan percaya diri seorang atlet, (5) Secara tidak langsung akan memudahkan penerapan iptek, dan (6) Para ilmuwan olahraga akan dimotivasi terus untuk memonitor penjaringan atlet.
Indikator – indikator penting dalam pemanduan bakat terdiri atas :
1.   Kesehatan, meliputi jantung, paru, saraf, otot, dan fungsi organ dalam 
2.   Antropometri, meliputi tinggi badan, berat badan, ukuran bagian tubuh, dan sebagainya
3.   Biomotor, meliputi speed, koordinasi, daya tahan, kekuatan, power, dan sebagainya
4.   Aspek psikologis, meliputi sikap, motivasi, toleransi, dan sebagainya
5.   Keturunan
6.   Lama latihan dan peluang untuk dapat dikembangkan agar menjadi sukses
7.   Maturasi (kematangan)
Kretschmer dalam KONI Pusat (1995:19) membagi 3 tipe tubuh antara lain sebagai berikut :
1.   Pyknis; bertubuh pendek gemuk, leher kuat, dada bulat, perut menonjol, suka makan, pencernaan makanan mudah dan mempunyai simpanan energi
2.   Asthenis; bertubuh tinggi, langsing, dada tipis dan rata, bahu agak ke muka, sulit mencerna makanan karena alat – alat tubuh bagian dalam (viscera) lemah, mempunyai energi sedikit
3.   Athletis; bertubuh antara pyknis dan asthenis, ukuran badan sedang dengan otot – otot yang kuat, dada lebar, tangan dan kaki besar dan kuat
Sedangkan Sheldon dalam KONI Pusat (1995:19) membagi tipe/bentuk tubuh manusia menjadi 3 tipe tubuh yakni;
1.   Tipe endomorf; tubuh berbentuk bulat dan lunak, konsentrasi masa tubuh pada bagian tengah, kepala besar dan bulat, leher pendek dan gemuk, dada lebar, tebal, dan berlemak, kaki pendek dan kuat.
2.   Tipe mesomorf; tubuh berat, keras dan persegi dengan otot – otot yang masif, tulang besar, tulang muka menonjol, leher cukup panjang dan kuat, rongga dada lebih besar dari pada perut, bahu lebar dan tulang clavicula berat dan menonjol, lengan atas berotot dan lengan bawah, pergelangan tangan dan jari – jari masif, otot perut besar dan berat, pinggang ramping dan rendah, serta pantat berat dan kedua kaki masif
3.   Tipe ectomorf, struktur badan lemah dan rapuh, kepala relatif besar, dahi bundar, wajah kecil, dagu runcing dan hidung mancung, leher panjang dan ramping, dada panjang dan sempit, kedua bahu ke depan, kedua tangan panjang, otot – otot tidak kelihatan, perut datar dengan cekung pada bagian atas pusat, pantat hampir tidak kelihatan, kedua kaki panjang dan kurus.
Adapun langkah – langkah pemanduan bakat atlet dapat dilakukan sebagai berikut : (1) Melakukan analisis yang lengkap baik faktor fisik, atau mental sesuai dengan karakteristik cabang olahraga yang diminati, (2) melakukan seleksi umum dan khusus dengan menggunakan instrumen dari cabang olahraga yang bersangkutan, (3) melakukan seleksi berdasarkan karakteristik antropometri dan kemampuan fisik, serta disesuaikan dengan tahapan perkembangan fisiknya, dan (4) melakukan evaluasi berdasarkan data yang komprehensif / menyeluruh dengan memperhatikan sikap anak terhadap olahraga baik di dalam / luar sekolah (Menpora, 1992).
Dalam rangka pembinaan dan pengembangan suatu prestasi olahraga, maka perlu dilakukan pembinaan sejak usia dini. Agar pembinaan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik maka perlu adanya usaha pemanduan bakat. Pemanduan bakat akan berhasil secara maksimal apabila ditangani secara ilmiah dengan cara mengaplikasikan ilmu olahraga dalam pemanduan bakat dan pembinaan prestasi sehingga tidak membuang – buang waktu dan tenaga. Adapun siklus pemanduan bakat ada 2 tipe, diantaranya :


Keterangan :
1.   Partisipasi, asumsinya bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam olahraga
2.    Identifikasi, adalah melihat ciri – ciri bakat dari segenap partisipan
3.   Seleksi, penyaringan (screening) yang dilakukan dengan cara yang benar melalui observasi, wawancara, pengukuran, dan lain – lain sebagai instrumennya
4.   Promosi, yaitu membuat kondisi agar bakat yang telah terseleksi berkembang dengan cara berlatih yang benar. Contohnya mencari sponsor, beasiswa, atlet tersebut dipromosikan
5.   Evaluasi, yaitu mencakup penilaian, mengoreksi efisiensi setiap tahap kegiatan pemanduan bakat (partisipasi, identifikasi, seleksi, promosi) agar setiap langkah dapat terlaksana secara efisien.
Berdasarkan 2 tipe siklus pemanduan bakat, siklus yang paling baik adalah tipe 2, dimana ada setiap siklusnya dilakukan evaluasi sehingga lebih mudah untuk mendeteksi atlet berbakat sesuai dengan kebutuhan cabang olahraga.
Atlet berbakat adalah atlet yang memiliki kemampuan yang unggul dan mampu memberikan prestasi tinggi dalam bidangnya. Dalam mengidentifikasi bakat seseorang, harus memperhatikan faktor internal dan eksternalnya. Artinya, anak yang berbakat adalah anak yang memiliki faktor internal yang baik dan bila ditunjang oleh faktor eksternal yang optimal, akan mampu mencapai puncak prestasi. Adapun ciri – ciri anak berbakat berdasarkan kedua faktor tersebut adalah : (1) Keturunan, (2) Memiliki karakter kepribadian yang baik, seperti motivasi, ambisi, ulet, tahan terhadap stres, (3) Sehat, (4) Fungsi organ baik, (5) Kemampuan fisik dan gerak dasar baik, (6) Antropometri sesuai cabang olahraga, (7) intelegensi mendukung, dan (8) Gemar berolahraga.
Ketika seorang pelatih mencari atlet berbakat, hal yang pertama kali dilakukan adalah memprediksi tinggi badan atlet sesuai dengan cabang olahraga yang dilatihnya selain melihat dari ciri – ciri anak berbakat. Berikut pedoman untuk memprediksi tinggi badan berdasarkan umur.
Tabel 3.1
Persentasi untuk prediksi tinggi badan
Usia (tahun)
Persentase (%)
Laki - laki
Perempuan
1
42,2
44,7
2
49,5
52,8
3
53,8
57,0
4
58,4
61,8
5
61,8
66,2
6
65,2
70,3
7
69,0
74,0
8
72,0
77,5
9
75,0
80,0
10
78,0
84,4
11
81,0
88,4
12
84,2
92,8
13
87,3
96,5
14
91,5
98,3
15
96,1
99,1
16
98,3
99,6
17
99,3
100
18
99,8
100

Contoh : Wulan berusia 12 tahun. Tinggi badannya saat ini adalah 165 cm. Berapa tinggi saat dia dewasa?
Prediksi tinggi badan Wulan saat dewasa
Metode pemanduan bakat terdiri dari 3 jenis antara lain sebagai berikut :
1.   Metode Alamiah
Metode alamiah adalah suatu pendekatan untuk mengidentifikasi bakat anak melalui langkah – langkah sewajarnya atau secara alami dari perkembangan anak selama mengikuti kegiatan olahraga. Penjaringan dengan pendekatan alamiah dimana atlet berlatih karena pengaruh lingkungan, nasehat orang tua / teman, tetapi perkembangan prestasi lambat.
2.   Metode Ilmiah
Metode ilmiah adalah suatu pendekatan untuk mengidentifikasi bakat anak dengan cara memilih calon atlet yang prospektif dan didukung dengan kemampuan alami dalam olahraga, kemudian diarahkan pada olahraga yang sesuai dengan potensinya dan dilakukan tes sesuai dengan cabang olahraga tersebut. Pada metode ini pembinaan relatif singkat.
3.   Flag System
Penjaringan atlet dengan cara jika ada atlet yang kelihatan berprestasi langsung diambil untuk dibina. Biasanya metode ini dilakukan oleh pelatih dengan menjaring atlet – atlet berbakat ketika mereka sedang bertanding.

A. Kriteria Bibit unggunl
Tangkudung & Wahyuningtyas Puspitorini ( 2012: 34 ) menjelaskan pertimbangan dalam memilih atlet bibit unggul antara lain didasarkan pada: (1) keadaan bibit atlet yang unggul adalah bibit atlet yang memiliki kemampuan atas bakat yang di bawa sejak lahir, (2) dengan di perolehnya bibit atlet unggul maka dapat menghindari terjadinya pemborosan tenaga atau biaya, dan (3) pencarian bibit unggul perlu semakin diintensifkan agar diperoleh bibit unggul sejak usia muda.

Adapun yang menjadi calon bibit unggul antara lain sebagai berikut:
1.     Usia muda
Pembinaan olahraga harus dimulai sejak usia muda. Hal ini dikarenakan dalampembinaan olahraga membutuhkan waktu kurang lebih 10 tahun untuk mencapai puncak prestasi. Selain itu, pada usia muda si anak mempunyai kadar flexibility yang tinggi, tetapi perlu diingat pula bhwa usia muda untuk latihan harus disesuaikan dengan cabang olahraganya.
2.     Berbakat
3.     Fungsi organ tubuh (otot, tulang, dan organ lainnya), dan kemampuan dasar tubuh baik.
Organ tubuh dan kemamuan dasar tubuh yang baik maka kemungkinan besar untuk dapat melakukan aktivitas fisik akan berlangsung dengan lancar dan baik pula.
4.     Bentuk tubuhnya memenuhi syarat cabang olahraga.
5.     Intelegensi dan kepribadian baik.

B.  Tahap Pembinaan Prestasi
Seperti yang telah dijelaskan pada BAB I, diketahui bahwa disiplin ilmu keolahragaan merupakan ilmu terapan yang saling terkait dan relevan,maka dalam pelaksanaan pembinaan olahraga prestasi perlu ditangani secara komprehensif dan terpadu. Berikut ini tahap-tahap pembinaan prestasi.

1.   Pengembangan Multilateral
Multilateral adalah pengembanagan fisik secara keseluruhan (Johansyah Lubis, 2013: 12. Pengembangan multilateral merupakan hal yang penting bagi anak-anak untuk mengembangkan berbagai keterampilan dasar yang dapat membantu anak menjadi atlet dalam memenuhi latihan cabang olahraga khusus(Bompa, 2000: 3)
Masih menurut Bompa (2000: 3) multilateral atau multiskill dikembangkan oleh negara Eropa Timur, di mana sekolah melakukan program latihan dasar untuk mengembangkan keterampilan pokok seperti lari, jalan, lompat, lempar, tangkap, berguling dan menjaga keseimbangan. Anak-anak yanng berhasil dengan sangat baik mengkoordinasikan dan memperoleh keterampilan yang merupakan dasar kesuksesan baik olahraga individu dan beregu, seperti atletik, bola basket, sepakbola, dan program berenamg yang mengembangkan kapasitas aerobik.
Jika anak didorong untuk mengembangkan berbagai keterampilan, maka anak mungkin akan mengalami sukses di beberapa aktivitas olahraga,dan cenderung atau berkeinginan untuk mendalami dan mengembangkan bakat lebih lanjut.
Tujuan pengembangan multilateral adalah untuk meningkatkan adaptasisecara keseluruhan. Diperkuat oleh Johansyah Lubis (2013: 14) yang menyatakan tujuan latihan multilateral adalah penyempurnaan melalui berbagai aktivitas untuk pengembanagan kemampuan seluruh aspek biomotor. Anak-anak dan remaja yang mengembangkan berbagai keterampilan dan kemampuan motorik lebih mungkin untuk beradaptasi terhadap beban dalam latihan tanpa mengalami tekanan. Selain itu, program pelatihan multilateral akan mengarah pada keberhasilan penampilan pada tahap pengembangan selanjutnya. Oleh karenaitu, pelatih harus memberikan latihan multilateral pada tahap awal pengembangan peserta latih sebagai landasan untuk spesialisasi di masa yang akan datang dan kesempurnaan cabang olahraga.
Meskipun pelatihan multilateral yang paling penting selama tahap awal pengembangan, dalam pelatihan selanjutnya tetap harus ada pengembangan multilateral. Artinya, penting bagi atlet untuk mempertahankan dasar multilateral selama pengembangan awal sampai sepanjang karir olahraganya. Berikut ini sasaran sesuai tahap pembinaan prestasi.

Tabel 3.2
Sasaran latihan sesuai dengan tahap pembinaan prestasi
Tahapan
Sasaran
Multilateral
Usia 6-15 tahun, multiskill, bertujuan mengembangkan gerak dasar (jalan, lari, loncat, lompat, dll). Pondasi dalam belajar teknik dan gerakan yang bervariatif.
Spesialisasi
Usia 15-18 tahun, materi disesuaikan dengan kebutuhan cabang olahraga, meliputi biomotor, energi pre-dominan, klasifikasi keterampilan.
Prestasi
Pencapaian prestasi maksimal pada usia ≥ 19 tahun, dan penjagaan agar prestasi stabil bahkan lebih baik lagi.

Anak – anak yang masa kecilnya sudah di kenalkan spesialisasi sejak dini akan berbeda dengan anak yang masa kecilnya diberikan program multilateral. Berikut perbedaan antara spesialisasi dini dan program multilateral:

Tabel 3.3
Perbedaan antara spesialisasi dan program multilateral
Spesialisasi dini
Program multilateral
·    Peningkatan prestasi cepat
·    Prestasi puncak usia 15 – 16 tahun karena adaptasi cepat
·    Usia 18 tahun beberapa atlet bosan dan keluar dari olahraga
·    Rentan cidera karena di paksa adaptasi
·    Prestasi tida konsisten
·   Peningkatan prestasi lambat
·   Prestasi puncak usia 18 tahun atau lebih, fisiologis dan psiko-logis sudah matang
·   Prestasi bertahan lama
·   Jarang cidera/cidera lebih sedikit
·   Prestasi stabil



A.Kesimpulan
pelatih adalah seseorang yang bertugas untuk mengoptimalkan prestasi atletnya dengan menggunakan metode ilmiah. Adapun ciri – ciri pelatih yang ilmiah antara lain sebagai berikut :
1.   Memiliki kemampuan menerima ide – ide baru
2.   Mencari jawaban – jawaban ajaib
3.   Evaluasi terhadap teknik baru
Falsafah ialah suatu sistem dari prinsip – prinsip yang digunakan untuk membimbing orang dalam kegiatan – kegiatannya (Martin & Lumsden, 1987; Harsono, 1988:1).
Bakat adalah bawaan secara alamiah dari lahir dan merupakan pembawaan yang diperoleh secara genetik dari faktor keturunan. Diperkuat oleh Andi Suhendro, dkk. (2007:2.4) bakat merupakan kemampuan yang terpendam yang dimiliki seseorang sebagai dasar dari kemampuan nyatanya.
Ciri – ciri anak berbakat berdasarkan kedua faktor tersebut adalah : (1) Keturunan, (2) Memiliki karakter kepribadian yang baik, seperti motivasi, ambisi, ulet, tahan terhadap stres, (3) Sehat, (4) Fungsi organ baik, (5) Kemampuan fisik dan gerak dasar baik, (6) Antropometri sesuai cabang olahraga, (7) intelegensi mendukung, dan (8) Gemar berolahraga.





Apta Mylsidayu & Febi Kurniawan. 2015 Ilmu Kepelatihan Dasar. Bandung: CV Alfabeta.